1. Pengertian Taksonomi Pembelajaran
Taksonomi di dasarkan pada asumsi, bahwa program pendidikan dapat di pandang sebagai suatu usaha mengubah tingkah laku siswa dengan menggunakan beberapa mata pelajaran. Bila kita uraikan tingkah laku dan mata pelajaran, kita membuat suatu tujuan pendidikan . Sebagai contoh: siswa akan dapat mengingat kembali tokoh-tokoh sejarah Islam. Siswa dapat mengenal kembali bentuk dan pola di dalam karya-karya sejarah Islam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bunyamin S. Bloom yaitu:
Proses belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah, menghasilkan tiga pembentukan kemampuan yang dikenal sebagai taxonomi Bloom, yaitu kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik .
a. Ranah Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak), Bunyamin S. Bloom menggolongkan tingkatan pada ranah kognitif dari pengetahuan sederhana atau penyadaran terhadap fakta-fakta sebagai tingkatan yang paling rendah kepenilaian (evaluasi) yang lebih kompleks dan abstrak sebagai tingkatan yang paling tinggi .
1. Pengetahuan, didefinisikan sebagai ingatan terhadap hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya. Kemampuan ini merupakan kemampuan awal meliputi kemampuan mengetahui sekaligus menyampaikan ingatannya bila diperlukan. Hal ini termasuk mengingat bahan-bahan, benda, fakta, gejala, dan teori. Hasil belajar dari pengetahuan merupakan tingkatan rendah.
2. Pemahaman, didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami materi atau bahan. Proses pemahaman terjadi karena adanya kemampuan menjabarkan suatu materi ke materi lain. Pemahaman juga dapat ditunjukan dengan kemampuan memperkirakan kecenderungan, kemampuan meramalkan akibat-akibat dari berbagai penyebab suatu gejala. Hasil belajar dari pemahaman lebih maju dari ingatan sederhana, hafalan, atau pengetahuan tingkat rendah.
3. Penerapan, merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari dan dipahami ke dalam situasi kongkrit, nyata, atau baru. Kemampuan ini mencakup penggunaan pengetahuan, aturan, rumus, konsep, prinsip, hukum, dan teori. Hasil belajar untuk kemampuan menerapkan ini tingkatannya lebih tinggi dari pemahaman.
4. Analisis, merupakan kemampuan untuk menguraikan materi ke dalam bagian-bagian atau komponen-komponen yang lebih terstruktur dan mudah mengerti. Kemampuan menganalisis termasuk mengidentifikasi bagian-bagian, menganalisis kaitan antar bagian, serta mengenali atau mengemukakan organisasi dan antar bagian tersebut. Hasil belajar analisis merupakan tingkat kognitif yang lebih tinggi dari kemampuan memahami dan menerapkan, karena untuk memiliki kemampuan menganalisis, seseorang harus mampu memahami isi atau substansi sekaligus struktur organisasinya.
5. Sintesis (synthesis) adalah kemampuan berfikir yang merupakan kebalikan proses berfikir analisis, sintesis merupakan proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang terstruktur atau berbentuk pola baru.
6. Penilaian atau evaluasi (evaluation) adalah merupakan jenjang berfikir paling tinggi dalam ranah kognitif menurut Taksonomi Bloom. Penilaian atau evaluasi diri merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide, misalnya jika seseorang dihadapkan dengan beberapa pilihan, maka ia akan mampu memilih suatu pilihan yang terbaik
1. Faktor-Faktor Mempengaruhui Karakteristik Kognitif Siswa .
a. Persepsi
Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, perasa dan pencium.
b. Perhatian
Perhatian adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan pemilihan rasangan yang datang dari lingkungannya. Jika seseorang sedang berjalan di jalan besar, ia sadar akan adanya lalu lintas disekelilingnya, akan kendaraan-kendaraan dan orang-orang yang lewat, akan toko-toko yang ada di tepi jalan. Dalam keadaan seperti ini kita tidak mengatakan bahwa ia menaruh perhatiannnya tertarik akan hal-hal yang disekelilingnya. Tetapi jika kita melihat ia bertemu dengan seseorang yang dikenalnya dan kemudian bercakap-cakap denganya, maka kita dapat mengatakan bahwa seorang tersebut dalam keadaan memperhatikan.
c. Mendengarakan
Mendengar adalah respons yang terjadi karena adanya rasangan gelombang suara. Peristiwa mendengar adalah sepenuhnya peristiwa jasmaniah. Diterimanya gelombang suara oleh indra pendengar tidak berarti adanya persepsi sadar akan apa yang didengar. Karena kenyataan inilah maka kita sering mendengar orang mengatakan siswa itu mendengar pelajaran yang kita sampaikan tetapi mereka tidak mengerti pelajaran yang kita sampaikan. Untuk mendengarkan, siswa harus mendengar, tetapi untuk mendengar orang tidak perlu mendengarkan. Mendengarkan tergantung pada perhatian.
d. Ingatan
Ingatan adalah penarikan kembali informasi yang pernah diperoleh sebelumnya. Informasi yang diterima dapat disimpan untuk:
1. Beberapa saat saja
2. Beberapa waktu
3. Jangka waktu yang tidak terbatas
2. Belajar kognitif
Belajar kognitif. Ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili obyek-obyek yang dihadapi, entah obyek itu orang, benda atau kejadian atau peristiwa. Dan obyek-obyek tersebut direpresentasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan suatu yang bersifat mental. Kemampuan kognitif, manusia dapat menghadirkan realita dunia di dalam dirinya sendiri, dari hal-hal yang bersifat material dan berperaga seperti perabot rumah tangga, kendaraan, bangunan dan sampai hal-hal yang tidak bersifat material dan berperaga seperti ide “keadilan, kejujuran”. Bahwa semakin banyak pikiran dan gagasan dimiliki siswa, semakin kaya dan luas alam pikiran kognitif siswa. Di samping itu semakin besar kemampuan berbahasa untuk mengungkapkan gagasan dan pikiran, semakin meningkat kemahiran untuk menggunakan kemampuan kognitif secara efektif dan efisien. Kemampuan berbahasa harus dikembangkan melalui belajar.
Belajar kognitif, mempunyai dua akivitas kognitif yaitu mengingat dan berfikir .
a. Mengingat adalah suatu aktivitas kognitif, dimana orang menyadari bahwa pengetahuan berasal dari masa lampau. Terdapat dua bentuk mengingat yang paling menarik perhatian, yaitu mengenal kembali (rekognisi) dan mengingat kembali (reproduksi). Dalam mengenal kembali, orang berhadapan dengan suatu obyek dan pada saat itu dia menyadari bahwa banyak obyek yang pernah dijumpai di masa lampau. Dalam mengenal kembali, aktivitas mengingat akan terikat pada kontak kembali dengan obyek, jika tidak ada kontak, juga tidak terjadi mengingat. Dalam mengingat kembali, dihadirkan suatu kesan dari masa lampau dalam bentuk suatu tanggapan atau gagasan, tetapi hal yang diingat akan hadir pada saat mengingat kembali.
b. Dalam aktivitas mental berfikir akan menjadi jelas, bahwa manusia berhadap dengan obyek-obyek yang diwakili dalam kesadaran. Dalam bentuk berfikir, obyek hadir dalam bentuk suatu representasi.
3. Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif, mencakup: taraf inteligensi dan daya kreativitas; bakat khusus; organisasi kognitif; taraf kemampuan berbabahasa; daya fantasi; gaya belajar; teknik-teknik study .
Taraf intelegensi-daya kraetivitas. Istilah intelegensi dapat diartikan sebagai berikut:
a. Arti luas: kemampuan untuk mencapai prestasi, yang di dalamnya berfikir memegang peranan. Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pergaulan sosial, perdagangan, pengaturan rumah tangga.
b. Arti sempit: kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah, yang didalamnya, berfikir memegang peranan pokok. Intelegensi dalam arti ini, kerap disebut kemampuan intelektual atau kemampuan akademik.
Daya kreatifitas menunjuk pada kemampuan untuk berfikir yang lebih original, dibandingkan dengan kebanyakan orang lain. Dalam berfikir kreatif lebih berperan, yaitu corak berfikir yang mencari jalan-jalan baru, lebih dalam memecahkan masalah.
Bakat khusus adalah sesuatu yang dibentuk dalam kurun waktu sejumlah tahun dan merupakan perpaduan dari taraf intelegensi pada umumnya, komponen intelegensi tertentu, pengaruh pendidikan dalam keluarga dan di sekolah, minat dari subyek sendiri.
Organisasi kognitif menunjuk pada cara materi yang sudah dipelajari, disimpan dalam ingatan, apakah tersimpan secara sistematik atau tidak. Hal ini sangat bergantung pada cara materi di pelajari dan diolah; makin mendalam dan makin sistematik pengolahan materi pelajaran, makin baiklah taraf organisasi dalam ingatan itu sendiri. Pada suatu ketika siswa memiliki sejumlah pengetahuan dan pengertian, kalau semua itu tersimpaan dalam ingatan dan terorganisis, siswa berkemampuan belajar lebih besar daripada siswa yang telah mempelajari banyak hal.
Kemampuan berbahasa mencakup kemampuan untuk menangkap inti suatu bacaan dan merumuskan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki itu dalam bahasa yang baik, sekurang-kurangnya bahasa tertulis. Mengingat kaitan yang ada antara berfikir yang tepat dan berbahasa yang benar.
Daya fantasi berupa aktivitas yang mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan, yang bersama-sama menciptakan sesuatu dalam alam kesadaran. Dalam alam fantasi orang tidak hanya menghadirkan kembali hal-hal yang pernah diamati, tetapi menciptakan sesuatu yang serba baru. Gaya belajar merupakan cara khas siswa dalam belajar. Gaya belajar mengandung beberapa komponen, antara lain gaya kognitif dan tipe belajar. Gaya kognitif adalah cara khas yang digunakan seseorang dalam mengamati dan berkreativitas mental dibidang kognitif.
Tipe belajar menunjuk pada kecenderungan seseorang untuk mempelajari sesuatu dengan cara yang lebih visual atau lebih auditif. Siswa yang tergolong “tipe visual”, cenderung lebih mudah belajar bila materi pelajaran dapat dilihat suatu dituangkan dalam bentuk gambar, bagan, diagram, dan lain sebagainya, sedangkan siswa yang tergolong “tipe auditif”, cenderung lebih mudah belajar bila dapat mendengarkan penjelasan dan merumuskan hasil pengelolaan materi pelajaran dalam bentuk kata-kata dan kalimat yang kemudian disimpan dalam ingatan. Namun, tidak semua siswa akan jelas tergolong dalam salah satu tipe belajarnya yang materi pelajaran yang dihadapi. Ada pula siswa yang tidak bertipe belajar apa pun dan mengalami kesulitan, baik dalam mengolah materi pelajaran secara visual maupun secara auditif.
4. Mengembangkan Kecakapan Kognitif
Upaya pengembangan kognitif siswa secara terarah baik oleh orang tua maupun oleh guru, sangat penting. Upaya pengembangan fungsi ranah kognitif akan berdampak positif bukan hanya terhadap ranah kognitif sendiri, melainkan juga terhadap ranah afekif dan psikomotor.
Dua macam kecakapan kognitif siswa yang amat perlu dikembangkan segera khususnya oleh guru, yakni :
a. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
b. Strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.
Kebiasaan belajar (cognitif preference) siswa, secara garis besar terdiri atas:
1. Menghafal prinsip-prinsip yang terkandung dalam materi
2. Mengaplikaskan prinsip-prinsip materi
Prefrensi kognitif yang pertama pada umumnya timbul karena dorongan luar (motif ekstrinsik) yang mengakibatkan siswa menganggap belajar hanya sebagai alat pencegah ketidak lulusan. Menurut Dart & Clarke yaitu:
Aspirasi yang dimilikinya bukan ingin menguasai materi secara mendalam, melainkan sekedar asal lulus atau naik kelas semata. Sebaliknya preferensi kognitif yang keduanya biasanya timbul karena dorongan dari dalam diri siswa sendiri (motif intristik), dalam arti siswa tersebut tertarik dan membutuhkan materi-materi pelajaran yang disajikan gurunya.
Oleh karenanya, siswa ini lebih memusatkan perhatian benar-benar memahami dan juga memikirkan cara menerapkannya.
Tugas guru dalam hal ini ialah menggunakan pendekatan mengajar yang memungkinkan para siswa yang menggunakan strategi belajar yang berorentasi pada pemahaman yang mendalam terhadap materi isi pelajaran. Seiring dengan upaya ini, guru juga diharapkan mampu menjauhkan para siswa dari strategi dan preferensi akal yang hanya mengarah ke aspirasi asal naik atau lulus. Selanjutnya, guru juga dituntut untuk mengembangkan kecakapan kognitif para siswa dalam memecahkan masalah menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dan keyakinan-keyakianan terhadap pesan-pesan moral atau nilai yang terkandung dan menyatu dalam pengetahuannya.
Perkembangan kognitif seseorang menurut Piaget mengikuti tahap-tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama: masa sensi motor (0.0-2.5 tahun)
Masa ketika bayi mempergunakan sistem pengindraan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya. Bayi memberikan reaksi motorik atas rangsangan-rangsangan yang diterimanya dalam bentuk refleks: misalnya refleks mencari puting susu ibu, refleks menangis, dan lain-lain). Refleks-refleks ini kemudian berkembang lagi menjadi gerakan-gerakan lebih canggih, misalnya berjalan.
2. Tahap kedua : masa pra operasional (2.0-7.0 tahun).
Ciri khas masa ini adalah kemampuan anak menggunakan simbol yang mewakili sesuatu konsep. Misalnya kata “ pisau plastik”. Kata “pisau” atau tulisan “pisau” sebenarnya mewakili makna benda yang sesungguhnya. Kemampuan simbolik ini memungkinkan anak melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hal-hal yang telah lewat; misalnya seorang anak yang pernah melihat dokter berpraktek, akan (dapat) bermain “dokter-dokteran”.
3. Tahap ketiga : masa konkreto prerasional (7.0-11.0 tahun)
Pada tahap ini anak sudah dapat melakukan berbagai macam tugas yang konkrit. Anak mulai mengembangkan tiga macam operasi berfikir, yaitu:
a. Identifikasi : mengenali sesuatu.
b. Negasi : mengingkari sesuatu, dan
c. Reproksi : mencari hubungan timbal balik antara beberapa hal.
4. Tahap keempat : masa operasional : (11.0-dewasa)
Pada tahap ini anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaan yang merupakan hasil dari berfikir logis, mampu berfikir abstrak, dan memecahkan persoalan yang bersifat hipotesis.
b. Ranah Afektif
Taksonomi untuk daerah afektif mula-mula dikembangkan oleh David R. Krathwolhl dan kawan kawan (1974) dalam buku yang berjudul Taxonomi of Educational Objective : Afective Domain. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang memiliki kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri belajar afektif akan nampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku: seperti perhatiannya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam. Kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan Agama Islam dan lain sebagainya. Ranah afektif ini oleh Krathwolhl dan kawan-kawan di taksonomi menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang yaitu: 1. Reciving, 2. Responding, 3. Valuing, 4. Organization, 5. Characterization by Value or Value Complex.
Reciving atau Attending (menerima atau memperhatikan) adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain.
Responding (menanggapi) mengandung arti adanya partisipasi aktif. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara.
Valuing (menilai atau menghargai). Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek. Sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasa akan membawa kerugian atau penyesalan. Dalam kaitan proses belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan, tetapi mereka telah berkemampuan menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Nilai itu telah mulai dicamkan (interralized) dalam dirinya.
Organization (mengatur atau mengorganisasikan) artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan nilai ke dalam suatu sistem organisasi termasuk di dalamnya hubungan dengan satu nilai dengan nilai lain. Pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.
Characterization by a Value or Value Complex (karakterisasi dengan satu nilai) yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hierarkhi nilai. Nilai telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkatan afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana, ia telah memiliki philosophy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk satu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik “pola hidup”. Tingkah lakunya menetap konsisten dan dapat diramalkan.
1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhui Karakteristik Afektif Siswa
A. Motivasi dan kebutuhan
Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, seringkali pengajar harus berhadapan dengan siswa-siswi yang prestasi akademisnya tidak sesuai dengan harapan pengajar. Bila hal ini terjadi dan ternyata kemampuan kognitif siswa cukup baik, pengajar cenderung untuk mengatakan bahwa siswa tidak bermotivasi dan menganggap hal ini sebagai kondisi yang menetap.
b. Minat
Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungannya tersebut, semakin besar minatnya.
Mengembangkan minat terhadap sesuatu pada dasarnya adalah membantu siswa melihat bagaimana hubungan antara materi yang diharapkan untuk dipelajarinya dengan dirinya sendiri sebagai individu. Proses ini menunjukan pada siswa bagaimana pengetahuan atau kecakapan tertentu mempengaruhui dirinya, melayani tujuan-tujuannya, memuaskan kebutuhan-kebutuhannya.
c. Konsep diri
Konsep diri adalah persepsi keseluruhan yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri. Menurut Burns konsep diri adalah:
Konsep ini merupakan suatu kepercayaan mengenai keadaan diri sendiri yang relatif sulit di ubah. Konsep ini tumbuh dari interaksi seseorang dengan orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya, biasanya orang tua, guru dan teman-teman.
2. Belajar Afektif
Belajar afektif berbeda dengan belajar intelektual dan ketrampilan, karena segi afekif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal di atas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan ketrampilan. Ada beberapa model belajar mengajar afektif, sebagai berikut :
1. Model konsiderasi
Manusia seringkali egostis, lebih memperhatikan mementingkan dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul berkerja sama dan hidup secara harmonis dengan orang lain.
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi, (2) meminta siswa menganalisis situasi menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, (3) siswa menuliskan responya masing-masing, (4) siswa menganalisis respon siswa lain, (5) mengajak siswa melihat konsekuensi dari tiap tindakannya, (6) meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri.
2. Model pembentukan rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnnya. Nilai-nilai ada yang tersembunyi dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat multimensional, ada yang relatif dan ada yang obsolut. Model pembentukan rasional bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai.
Langkah-langkah pembelajaran rasional: (1) mengidentifikasi situasi dimana ada ketidakserasian atau penyimpangan tindakan, (2) menghimpun informasi tambahan, (3) menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atau ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, (4) mencari alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya, (5) mengambil keputusan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuan-ketentuan legal dalam masyarakat.
3. Model nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator atau konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran nondirektif: (1) menciptakan situasi yang permisif melalui ekspersi bebas, (2) pengungkapan, siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang dihadapinya, guru menerima dan memberikan klarifikasi, (5) integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatan-kegiatan positif, guru membantu dan mengembangkan.
3. Fungsi Afektif
Fungsi afektif yang mencakup: temprament, perasaan, sikap, minat .
Temprament. Pada setiap orang, alam perasaan memiliki sifat-sifat umum tertentu. Ada orang yang pada umumnya cenderung berperasaan sedih, dan pesimis, adapula yang biasanya berpersaan gembira dan optimis.
Perasaan, yang dimaksudkan di sini adalah perasaan momentan dan intensional. “Momentan”yakni perasaan yang timbul pada saat tertentu sedangkan intensional adalah reaksi perasaan diberikan terhadap sesuatu, seseorang atau situasi tertentu. Apabila situasi berubah, maka pearsaan berganti pula. Misalnya bila guru sedang memarahi siswa dalam kelas, mereka merasa takut, tetapi beberapa waktu kemudian perasaan itu hilang dan perasaan menjadi lega, apabila guru menceritakan sesuatu lelucon untuk meringankan suasana yang sangat tegang.
Sikap, orang yang bersikap tertentu, cenderung menerima atau menolak suatu obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek sebagai hal yang berguna atau berharga baginya. Dengan demikian siswa yang memandang belajar di sekolah pada umumnya, atau bidang study tertentu, sebagai sesuatu yang bermanfaat baginya akan memiliki sikap positif, sebaliknya sesuatu yang tidak dianggap bermanfaat akan memiliki sikap yang negatif. Penilaian spontan melalui perasaan, berperan sebagai aspek positif dalam pembentukan sikap.
Minat, adalah sebagai kecenderungan subyek yang menentap, untuk merasa tertarik pada bidang study atau pokok bahasan tertentu dan merasa senang mempelajari materi.
4. Mengembangkan Kecakapan Afektif
Keberhasilan pengembangan ranah afektif tidak hanya menumbuhkan kecakapan kognitif, tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah afektif. Sebagai contoh, seorang guru agama yang piawai dalam mengembangkan kecakapan kognitif, akan berdampak positif terhadap ranah afektif siswa. Dalam hal ini pemahaman yang mendalam terhadap arti penting materi pelajaran agama yang disajikan guru serta preferensi kognitif yang mementingkan aplikasi prinsip-prinsip tadi akan meningkatkan kecakapan ranah afektif siswa. Peningkatan kecakapan ini, antara lain berupa kesadaran beragama yang mantap.
Dampak positif lainnya ialah yang dimilikinya sikap mental keagamaan yang telah tegas, lugas sesuai dengan tuntunan ajaran agama yang telah ia pahami dan yakini secara mendalam. Sebagai contoh, apabila seorang siswa diajak kawannya untuk berbuat tidak senonoh seperti melakukan seks bebas, meminum minuman keras, ia akan serta menolak dan bahkan berusaha mencegah perbuatan asusila itu dengan segenap daya dan upayanya.
5. Perkembangan Afektif
Dalam perkembangan afektif ini, akan melalui tahap-tahap perkembangan emosi, nilai, moral dan sikap. Perkembangan emosi anak menunjukkan bahwa mereka bergantung pada faktor kemantangan belajar .Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut akan muncul dikemudian hari, dengan berfungsi sistem endokrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhui perkembangan emosi.
Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rasangan dalam jangka waktu yang lebih lama, dan menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat mempengaruhui reaksi emosional. Dengan demikian, anak-anak menjadi relatif terhadap rasangan yang tadinya tidak mempengaruhui mereka pada usia yang lebih muda.
Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku emosional. Bayi secara relatif kekurangan produksi endokrin yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologis terhadap stres. Kelenjar adrenalin yang memainkan peran utama yang emosi mengecil secara tajam segera, setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar ini mulai membesar lebih pesat sampai anak berusia 5 tahun, Pembesarannya melambat pada usia 5 sampai 16 ahun. Pada usia 16 tahun kelenjar tersebut mencapai kembali ukuran semula seperti saat anak lahir. Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan emosi.
Dan tahap selanjutnya adalah perkembangan nilai, moral, sikap.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan satun . Sopan santun, adat dan kebiasaan serta nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila adalah nilai-nilai hidup yanng menjadi pegangan seseorang dalam kedudukanya sebagai warga negara Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara. Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban. Dalam kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup. Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan buruk dan hal ini yang berkaitan dengan moral. Sedangkan menurut Gerung, sikap secara umum di artikan sebagai kesetiaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal. Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang. Dapat di ramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan di perbuat jika telah diketahui sikapnya. Dengan demikian keterkaitan antara dengan nilai, moral, sikap dan tingkah laku akan tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu kemudian di hayati dan di dorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang di inginkan.
C. Ranah psikomotor
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan ketrampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman tertentu . Anita Harrow mengelolah taksonomi ranah psikomotor menurut derajat koordinasi yang meliputi koordinasi ketidaksengajaan dan kemampuan dilatihkan. taksonomi ini dimulai dari gerak refleks yang sederhana pada tingkatan rendah ke gerakan saraf otot yang lebih kompleks pada tingkatan tertinggi.
1. Gerakan refleks, merupakan tindakan yang ditunjukan tanpa belajar dalam menanggapi stimulus.
2. Gerakan dasar, merupakan pola gerakan yang diwarisi yang terbentuk berdasarkan campuran gerakan refleks dan gerakan yang lebih kompleks.
3. Gerakan tanggap, merupakan penafsiran terhadap segala rangsang yang membuat seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Hasil belajarnya berupa kewaspadaan berdasarkan perhitungan dan kecermatan.
4. Kegiatan fisik, merupakan kegiatan yang memerlukan kekuatan otot, kekuatan mental, ketahanan, kecerdasan, kegesitan dan kekuatan suara.
5. Komunikasi tidak berwacana, merupakan komunikasi melalui gerakan tubuh. Gerakan tubuh ini merentang dari ekspresi mimik muka sampai dengan gerakan koreografi yang rumit.
1. Fungsi Psikomotorik
Kemampuan yang dimiliki siswa di bidang psikomotorik, juga merupakan bagian dari keadaan awal di pihak siswa, yang dapat menghambat atau membantu di semua proses belajar-mengajar atau paling sedikit dalam proses belajar mengajar yang harus menghasilkan ketrampilan motorik. Kemampuan-kemampuannya yang dimaksud, antara lain adalah kecakapan menulis, kecakapan berbicara dan artikulasi kata-kata; menggunakan alat-alat menggunting, memotong, membuat garis dan lingkaran serta menggambar. Diantara kemampuan itu, ada yang dibutuhkan dalam proses belajar tertentu, seperti koordinasi gerak-gerik dalam pelajaran ketrampilan dan pendidikan jasmani.
2. Belajar Psikomotorik
Belajar psikomotor, ciri khasnya terletak dalam belajar menghadapi dan mengenali obyek-obyek secara fisik, termasuk kejasmanian manusia sendiri. Misalnya, menggerakkan anggota-anggota badan sambil naik tangga atau berenang, memegang alat sambil menulis atau melukis, memberikan makan kepada dirinya sendiri sambil mengambil bahan makanan dan memindahkan ke mulut dengan mempergunakan alat-alat makan dan lain sebagainya. Dengan penjelasan tersebut, berlangsung suatu penanganan atau operasi secara fisik bukan hanya operasi secara mental, sebagaimana terjadi bila berfikir. Dalam belajar ini, baik aktivitas mengamati melalui alat-alat indra (sensorik) maupun bergerak dan menggerakkan (motorik) mempunyai peranan penting.
3. Mengembangkan Kecakapan Psikomotorik
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap perkembangan ranah psikomotor. Kecakapan psikomotor ialah segala amal jasmaniah yang konkrit dan mudah diamati baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang terbuka. Namun, disamping kecakapan psikomotor tidak terlepas dari kecakapan kognitif ia juga banyak terikat oleh kecakapan afektif. Jadi kecakapan psikomotor siswa merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mentalnya .
Banyak contoh yang membuktikan bahwa kecakapan kognitif berpengaruh besar terhadap berkembangnya kecakapan psikomotor. Para siswa yang berprestasi baik (dalam arti yang luas dan ideal) dalam bidang pelajaran agama misalnya siswa akan lebih rajin beribadah sholat, puasa dan mengaji. Siswa juga tidak akan segan-segan memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan. Sebab, ia merasa memberi pertolongan adalah kebajikan (afektif), sedangkan perasaan yang berkaitan dengan kebajikan tersebut berasal dari pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran agama yang ia terima dari gurunya (kognitif).
4. Perkembangan Psikomotor siswa
Dalam Psikologi, kata motor digunakan sebagai istilah yang menunjukan pada hal, keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot dan gerakan-gerakannya, juga kelenjar-kelenjar dan skreasinya. Secara singkat Psikomotor adalah sebagai segala keadaan yang meningkatkan atau menghasilkan stimulasi terhadap kegiatan-kegiatan organ-organ fisik.
Proses perkembangan fisik anak berlangsung kurang lebih selama dua dekade (dua dasawarsa) sejak ia lahir. Semburan perkembangan terjadi pada masa anak menginjak usia remaja antara 12 atau 13 tahun hingga 21 atau 22 tahun. Pada saat perkembangan berlangsung, beberapa bagian jasmani seperti kepala dan otak yang pada waktu dalam rahim berkembang tidak seimbang, mulai menunjukkan perkembangan yang cukup berarti hingga bagian-bagian lainnya menjadi matang.
Ketika anak yang baru lahir hanya memiliki sedikit sekali kendali terhadap aktivitas alat-alat jasmaninya. Setelah berusia empat bulan, bayi itu sudah mampu duduk dengan bantuan sanggahan dan dapat pula meraih dan menggenggam benda-benda mainannya yang sering hilang dari pandangannya, kini ia telah memiliki gerakan otomatis untuk menggenggam.
Ketika seorang anak memasuki sekolah dasar atau ibtidaiyah pada umur 6 tahun, koordinasi antara mata dan tangan (visio motorik) yang dibutuhkan untuk membidik, menyepak, melempar dan menangkap juga berkembang. Pada usia 7 tahun, tangan anak semakin kuat dan ia lebih menyukai pensil dari pada krayon untuk menulis. Dari usia 8 hingga 10 tahun, tangan dapat digunakan secara bebas, mudah dan tepat. Koordinasi motorik halus berkembang, di mana anak sudah dapat menulis dengan baik. Ukuran huruf menjadi lebih kecil dan lebih rapi. Pada usia 10 hingga 12 tahun, anak-anak mulai memperhatikan ketrampilan-ketrampilan manipulatif menyerupai kemampuan orang dewasa. Mereka mulai memperlihatkan gerakan-gerakan yang kompleks, rumit, cepat, yang diperlukan untuk menghasilkan karya kerajinan yang bermutu bagus atau memainkan instrumen musik tertentu .
Gerakan-gerakan psikomotor siswa akan terus meningkat keanekaragaman, keseimbangan dan kekuatannya ketika ia menduduki tingkat SMP dan SMA. Namun, peningkatan kualitas bawaan siswa ini justru membawa konsekuensi tersendiri, yakni perlunya pengadaan guru yang lebih piawai dan terampil. Kepiawaian guru dalam hal ini bukan hanya menyangkut cara melatih ketrampilan para siswa, melainkan juga kepawaian yang berhubungan dengan penyampaian ilmu tentang mengapa dan bagaimana ketrampilan tersebut dilakukan.
Sumber: http://www.rokhim.net/
0 komentar:
Post a Comment